Posts Subscribe to InFoGauLComments

Online

make own

.: Blog Maharani :.

.: Salam Blogger :.
"Dibutuhkan kedewasaan untuk memahami pemikiran orang dewasa. Dan masalah adalah jalan untuk mendewasakan diri.."
Selengkapnya tentang saya

Dyah Anindya

Dyah Anindya

Ya Allah
"..kupasrahkan segala jiwa dan raga ini hanya milikMu kutahu sesungguhnya apa yang telah Engkau takdirkan adalah yang terbaik dalam realita hidup dan matiku karana Engkau Maha Mengetahui segala yang terbaik bagiku..."

FIND ME ON..

mybloglog twitter facebook HOME
Info

Tokoh Pewayangan

Tokoh-tokoh Ramayana dalam budaya pewayangan Jawa diambil dan diadaptasi dari mitologi Hindu di India.
  1. Anggada
  2. Anila
  3. Anjani
  4. Bharata
  5. Dasarata
  6. Hanoman
  7. Indrajit (Megananda)
  8. Jatayu
  9. Jembawan
  10. Kosalya
  11. Kumbakarna
  12. Aswanikumba
  13. Laksmana
  14. Parasurama
  15. Prahasta
  16. Rama Wijaya
  17. Rawana
  18. Satrugna
  19. Sita
  20. Subali
  21. Sugriwa
  22. Sumali
  23. Sumitra
  24. Surpanaka (Sarpakenaka)
  25. Trikaya
  26. Trijata
  27. Trinetra
  28. Trisirah
  29. Wibisana
  30. Wilkataksini
  31. Dewi Windradi
Tokoh-tokoh Mahabharata dalam budaya pewayangan Jawa diambil dan diadaptasi dari mitologi Hindu di India.
  1. Abimanyu
  2. Resi Abyasa
  3. Amba
  4. Ambalika
  5. Ambika
  6. Antareja
  7. Antasena
  8. Arjuna
  9. Aswatama
  10. Baladewa
  11. Banowati
  12. Basupati
  13. Basudewa
  14. Bima
  15. Bisma
  16. Burisrawa
  17. Bayu
  18. Cakil
  19. Citraksa
  20. Citraksi
  21. Citrayuda
  22. Damayanti
  23. Dewayani
  24. Drona (Dorna)
  25. Drestadyumna
  26. Dretarastra
  27. Dropadi
  28. Durgandini
  29. Durmagati
  30. Dursala (Dursilawati)
  31. Dursasana
  32. Duryodana (Suyodana)
  33. Drupada
  34. Ekalawya
  35. Gatotkaca
  36. Gandabayu
  37. Gandamana
  38. Gandawati
  39. Indrajit
  40. Janamejaya
  41. Jayadrata
  42. Karna
  43. Kencakarupa
  44. Kertawarma
  45. Krepa
  46. Kresna
  47. Kunti
  48. Madri
  49. Manumanasa
  50. Matswapati
  51. Nakula
  52. Nala
  53. Niwatakawaca
  54. Pandu
  55. Parasara
  56. Parikesit
  57. Puru
  58. Rukma
  59. Rupakenca
  60. Sadewa
  61. Sakri
  62. Sakutrem
  63. Salya
  64. Sangkuni
  65. Samba
  66. Sanjaya
  67. Santanu
  68. Sarmista
  69. Satyabama
  70. Satyajit
  71. Satyaki
  72. Satyawati
  73. Srikandi
  74. Subadra
  75. Sweta
  76. Udawa
  77. Utara
  78. Utari
  79. Wesampayana
  80. Wicitrawirya
  81. Widura
  82. Wirata
  83. Wisanggeni
  84. Wratsangka
  85. Yayati
  86. Yudistira
  87. Yuyutsu
Versi Jawa Tengah dan Jawa Timur (wayang kulit/wayang orang) punakawan
  1. Semar
  2. Gareng
  3. Petruk
  4. Bagong
  5. Togog
Read more >>

Santanu

Santanu (Sanskerta: सांतनु; Śāṇtanu) adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putra Raja Pratipa dari trah Candrawangsa, keturunan Maharaja Kuru, yang memiliki tegal bernama Kurukshetra, letaknya di India Utara. Prabu Santanu merupakan ayah Bisma dan secara sah, kakek daripada Pandu dan Dretarastra. Ia memerintah di Hastinapura, ibukota sekaligus pusat pemerintahan para keturunan Kuru, di Kerajaan Kuru.

Kehidupan awal
Prabu Santanu merupakan putra dari pasangan Raja Pratipa dengan Ratu Sunanda, keturunan Raja Kuru, yang menurunkan keluarga para Pandawa dan Korawa. Santanu berasal dari kata çanta yang berarti tenang, sebab Prabu Pratipa dalam keadaan tenang pada saat putranya lahir. Prabu Santanu sangat tampan, sangat cakap dalam memainkan senjata, dan senang berburu ke hutan. Pada saat ayahnya hendak pensiun, kakaknya, Dewapi dan Bahlika menolak mewarisi tahta. Dewapi memutuskan untuk hidup sebagai pertapa demi menemukan kedamaian, sementara Bahlika memutuskan untuk pergi berkelanan ke India Barat. Maka dari itu, Santanu menggantikan posisi ayahnya, Raja Pratipa, sebagai raja di Hastinapura.

Pernikahan dengan Gangga
Pada saat Prabu Santanu berburu ke tepi sungai Gangga, ia bertemu dengan wanita yang sangat cantik dan tubuhnya sangat indah. Wanita tersebut adalah Dewi Gangga (dalam tradisi Jawa disebut "Jahnawi"). Ia kena kutuk Dewa Brahma untuk turun ke bumi dan menjadi pasangan keturunan Raja Kuru. Karena terpikat oleh kecantikannya, Prabu Santanu merasa jatuh cinta. Dewi Gangga pun bersedia menjadi permaisurinya dengan syarat bahwa apapun yang ia lakukan terhadap anaknya, Prabu Santanu tidak boleh melarangnya. Jika Prabu Santanu melanggar janjinya, maka Dewi Gangga akan meninggalkannya. Karena perasaan cinta yang meluap-luap, maka syarat tersebut dipenuhi.

Setelah menikah, Dewi Gangga mengandung putranya yang pertama. Namun tak lama setelah anak tersebut lahir, ibunya segera menenggelamkannya ke sungai Gangga. Begitu pula pada para puternya yang selanjutnya, semua mengalami nasib yang sama. Sang raja mengetahui hal tersebut karena selalu membuntuti istrinya, namun ia tak kuasa mencegah karena terikat akan janji pernikahannya. Ketika Sang Dewi mengandung putranya yang kedelapan, Prabu Santanu tak tahan lagi. Lalu ia menghentikan perbuatan permaisurinya yang ia anggap sebagai perbuatan biadab dan tidak berperikemanusiaan.

Dewi Gangga menghentikan perbuatannya lalu menjelaskan bahwa putra-putra yang ia lahirkan merupakan inkarnasi dari Astabasu atau delapan Wasu. Tindakannya menenggelamkan bayi-bayi tersebut adalah untuk melepaskan jiwa mereka agar mencapai surga, kediaman para Wasu. Konon, delapan Wasu tersebut pernah mencuri lembu sakti miliki Resi Wasista. Karena ketahuan, mereka dikutuk oleh Resi Wasista supaya kekuatan Dewata mereka hilang dan menjelma sebagai manusia. Salah satu dari delapan Wasu tersebut bernama Prabata yang merupakan pemimpin daripada rencana pencurian tersebut. Karena ia merupakan pelaku utama dan ketujuh Wasu lainnya hanya ikut membantu, maka Prabata yang menjelma paling lama sebagai manusia. Kelak Prabata menjelma sebagai seorang manusia sakti yang bernama Dewabrata. Setelah menjelaskan hal tersebut kepada Prabu Santanu, Dewi Gangga yang masih mengandung lenyap di sungai Gangga.

Kemunculan Bisma
Prabu Santanu akhirnya merelakan kepergian permaisurinya dan kembali lagi ke istana, memerintah kerajaan Hastinapura. 16 tahun kemudian, Prabu Santanu yang sedang bosan, jalan-jalan ke tepi sungai Gangga. Di sana ia melihat seorang putra yang sangat kuat, mampu membendung air sungai Gangga menggunakan ratusan anak panah. Setelah ibunya (Dewi Gangga) muncul dan menjelaskan asal usul anak tersebut, Prabu Santanu sangat gembira, sebab putranya yang dibawa pergi semenjak lahir telah kembali pulang. Oleh Santanu, anak tersebut diberi nama Dewabrata. Sang Prabu mengajak anak tersebut ke istana. Dewabrata tumbuh menjadi putera yang berbakti kepada orang tua dan memiliki jiwa ksatria tinggi. Ia bahkan dicalonkan sebagai penerus tahta.

Pernikahan dengan Satyawati
Pada suatu ketika Prabu Santanu mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak. Dengan rasa penasaran Prabu Santanu jalan-jalan ke sungai Yamuna. Ia menemukan sumber bau harum tersebut dari seorang gadis desa, bernama Gandhawati (lebih dikenal sebagai Satyawati atau Durgandini). Gadis tersebut sangat elok parasnya dan harum tubuhnya. Prabu Santanu jatuh cinta dan hendak melamar gadis tersebut. Ayah gadis tersebut bernama Dasabala. Ketika Sang Raja melamar gadis tersebut, orang tuanya mengajukan syarat bahwa jika Gandhawati (Satyawati) menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai dengan Dharma dan keturunan Gandhawati-lah yang harus menjadi penerus tahta. Mendengar syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia dapatkan.

Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri Dasabala, Gandhawati, yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan tahta keturunan Raja Kuru agar kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan keturunan Gandhawati. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat itu, namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Gandhawati menikah lalu memiliki dua orang putra bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Prabu Santanu wafat dan Bisma menunjuk Citrānggada sebagai penerus tahta Hastinapura. Kelak Wicitrawirya akan menurunkan keluarga besar Pandawa dan Korawa.
Read more >>

Prabu Matswapati

Prabu Matswapati adalah raja binatara (agung) negara Wirata, seorang raja yang memerintah segala raja. Negara Wirata terhitung negara tertua pada zaman Purwa. Prabu Matswapati berputra tiga orang: Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka, dan berputri seorang, Dewi Utari.
Ketiga putra tersebut adalah pahlawan negara Wirata. Di dalam perang Baratayuda mereka berganti-ganti memimpin perang dan ketiga-tiganya tewas berturut-turut. Dewi Utara diperistriRaden Angkawijaya.
Prabu Matswapati sangat sayang pada keluarga Pandawa. Di dalam perang Baratayuda ia memihak Pendawa dan menjadi pemimpin serta penasehat mereka.
Prabu Matswapati bermata kedondongan, berhidung dan bermulut serba lengkap, berjenggot. Bermahkota topong, berzamang tiga susun dengan garuda membelakang, berpraba dan bersunting waderan. Bergelang. Berpontoh. Berkeroncong dan berkain bokongan raton, kerajaan.
Kedua tangan yang diatur seperti tampak di dalam gambar menandakan, bahwa ia menyilakan tamu dengan hormat, misalnya pada waktu ia menyilakan seorang tamu raja.
Kalau menyilakan hanya dengan satu tangan, tangan depan, itu berarti, bahwa ia menyilakan seorang tamu bukan raja. Menggerakkan satu tangan dilakukan pada waktu sedang berbicara, dan mendiamkan saja tangan itu berarti, bahwa percakapan sudah selesai
Read more >>

Madri

Madri (Sanskerta: माद्री; Mādrī) adalah salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Dia merupakan seorang puteri dari Kerajaan Madra, adik dari Salya yang diberikan kepada Pandu, setelah Salya kalah tanding dengan Pandu.

Dalam kisah Mahabharata, Prabu Pandu berhasil memenangkan sayembara untuk mendapatkan Kunti putri dari Prabu Kuntiboja. Prabu Salya yang terlambat datang menantang Pandu untuk mendapatkan Dewi Kunti dengan taruhannya adalah Dewi Madri adiknya. Pandu kemudian mendapatkan Madri dan menikahinya. Dari Madri, Pandu memiliki dua orang anak kembar, yaitu Nakula dan Sadewa.

Riwayat
Madri adalah istri kedua Pandu. Ia dinikahkan dengan Pandu untuk mempererat hubungan antara Hastinapura dengan Kerajaan Madra. Namun karena Pandu menanggung kutukan bahwa ia akan meninggal apabila bersenggama, maka ia tidak bisa memiliki keturunan. Akhirnya Pandu dan istrinya mengembara di hutan sebagai pertapa dan meninggalkan Hastinapura. Di sana, Kunti mengeluarkan mantra rahasianya untuk memangil para Dewa. Ia menggunakan mantra tersebut tiga kali untuk memanggil Dewa Yama, Bayu, dan Indra. Dari ketiga Dewa tersebut ia memperoleh tiga putera, yaitu Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti juga memberikan kesempatan bagi Madri untuk memanggil Dewa. Madri memanggil Dewa Aswin, dan mendapatkan putera kembar bernama Nakula dan Sadewa.

Kematian
Pada suatu hari, ketika Kunti dan putera-puteranya yang lain berada jauh, Pandu mencoba untuk bercinta dengan Madri. Karena kutukan yang diberikan kepadanya, ia meninggal saat menjalin hubungan asmara dengan Madri. Kemudian Madri berpesan kepada Kunti, agar ia merawat Nakula dan Sadewa seperti anak kandungnya sendiri. Setelah itu, Madri menceburkan dirinya sendiri ke dalam api kremasi untuk menyusul suaminya.
Read more >>

Dursala

Dursala (atau Dushala atau Dussala) adalah nama seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata sebagai adik dari Duryodana, pemimpin para Korawa. Ia merupakan satu-satunya perempuan di antara anak-anak Dretarastra dan Gandari.
Dalam pewayangan Jawa, tokoh Dursala merupakan seorang laki-laki, yaitu anak dari Dursasana. Adapun nama adik perempuan Duryudana versi Jawa adalah Dursilawati
Silsilah Versi Mahabharata
dalam naskah Mahabharata, Dursala merupakan anak perempuan pasangan Dretarastra dan Gandari. Ia memiliki seratus orang kakak laki-laki, yang kesemuanya terkenal dengan sebutan para Korawa. Selain itu, Dursala juga memiliki saudara yang lahir dari selir bernama Yuyutsu.
Dursala menikah dengan Jayadrata raja Kerajaan Sindhu dan Kerajaan Sauwira. Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Suratha. Jayadrata sendiri tewas dalam perang Baratayuda di tangan Arjuna. Beberapa tahun setelah perang berakhir, cucu Suratha sempat bertarung dengan Arjuna ketika Arjuna menarik upeti di Kerajaan Sindhu dalam rangka upacara Aswamedha yang diselenggarakan oleh Yudistira.
Silsilah Dursilawati
Dalam versi pewayangan Jawa, adik perempuan para Korawa yang menikah dengan Jayadrata bernama Dursilawati. Ia memiliki tabiat buruk yaitu suka menggoda pria-pria tampan, antara lain Arjuna, sepupunya sendiri.
Semula Jayadrata datang ke Kerajaan Hastina untuk berguru ilmu pemerintahan kepada Pandu, ayah para Pandawa. Namun karena Pandu sudah meninggal, Sangkuni berusaha menarik Jayadrata untuk menjadi sekutu Korawa. Antara lain ia menggunakan kecantikan Dursilawati untuk memikat Jayadrata.
Jayadrata tertarik dan bersedia menikahi Dursilawati. Namun menjelang hari perkawinan, Dursilawati hilang diculik seekor gajah putih. Arjuna membantu Jayadrata menemukan Dursilawati dan membunuh gajah tersebut.
Perkawinan Jayadrata dan Dursilawati melahirkan dua orang putra bernama Kartiwindu dan Antisura. Kartiwindu sejak kecil diadopsi sebagai anak angkat Sangkuni. Dalam perang Baratayuda Kartiwindu melarikan diri ketika jumlah kekuatan pihak Korawa semakin menipis.
Sementara itu Antisura masih kecil ketika perang terjadi. ia mendapatkan amnesti dan diterima sebagai perwira Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit cucu Arjuna. Antisura terkenal sombong dan suka membanggakan diri. Akibatnya, hubungan pergaulannya dengan para perwira lainnya yang masih keturunan Pandawa kurang baik.
Kedua anak Dursilawati, yaitu Kartiwindu dan Antisura menjadi pengacau dalam pemerintahan Parikesit. Kartiwindu merusak ketentraman Hastina dari luar, sedangkan Antisura dari dalam istana.
Dursilawati sendiri meninggal dunia ketika perang Baratayuda terjadi karena nyawanya dicabut oleh Batara Kala sebagai tumbal untuk kemenangan pihak Korawa, khususnya Jayadrata. Sebagai bukti ialah keberhasilan Korawa pada hari ke-13 membunuh Abimanyu putra Arjuna.
Dursala Versi Jawa
Dalam pewayangan Jawa, tokoh Dursala adalah nama seorang laki-laki, yaitu anak dari Dursasana, Korawa nomor dua. Dengan kata lain, Dursala versi Jawa adalah keponakan Dursilawati.
Di antara anak-anak Korawa, Dursala adalah yang paling sakti. Ia memiliki Aji Pengabaran yang membuatnya mampu melumpuhkan kesaktian lawan. Dursala kemudian memimpin serangan untuk merebut Kerajaan Amarta dan membunuh para Pandawa. Dalam serangan itu, ia berhasil mengalahkan Gatutkaca putra Bimasena, Pandawa nomor dua.
Gatutkaca akhirnya berhasil mengalahkan Dursala setelah ia mendapatkan ilmu kesaktian baru bernama Aji Narantaka yang diperolehnya dari Arya Seta, pangeran Kerajaan Wirata. Dalam perang tanding tersebut, Dursala akhirnya tewas di tangan Gatutkaca.
Read more >>

Ambalika

Dalam Mahabharata, Ambalika (Dewanagari: अम्बालिका; ) merupakan puteri Raja Kasi dan istri dari Wicitrawirya, Raja Hastinapura.

Bersama dengan saudaranya, yaitu Amba dan Ambika, ia direbut oleh Bisma dalam sebuah sayembara (Bisma menantang para raja dan pangeran yang berkumpul lalu menaklukkan mereka.) Bisma mempersembahkan mereka kepada Satyawati untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Namun Wicitrawirya wafat dalam usia muda sebelum memberikan keturunan kepada Ambalika.

Setelah kematian Wicitrawirya, ibunya Bisma yaitu Satyawati, mengajukan permohonan pertamanya kepada Resi Weda Wyasa (Bagawan Byasa) untuk melanjutkan garis keturunan Dinasti Kuru. Sesuai dengan permohonan Satyawati, Sang Bagawan mengunjungi istri Wicitrawirya untuk menganugerahi mereka seorang putera. Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk terus membuka matanya supaya jangan melahirkan putera yang buta seperti yang telah dilakukan oleh Ambika (Ambika melahirkan putera buta bernama Dretarastra). Karena taat dengan perintah mertuanya, ia terus membuka matanya namun ia menjadi pucat setelah melihat rupa Sang Bagawan yang luar biasa. Maka dari itu, Pandu (puteranya), ayah para Pandawa, terlahir pucat.

Ambalika hidup beberapa lama di Hastinapura sampai ia memiliki cucu, yaitu para Pandawa dan Korawa. Ketika puteranya yang bernama Pandu telah wafat, perasaan Ambalika terpukul. Atas saran dari Satyawati, Ambalika meninggalkan kehidupan duniawi dan pergi ke dalam hutan. Bersama dengan Ambika, mereka betiga meninggalkan para penerus Dinasti Kuru di Hastinapura.
Read more >>

Togog

Togog adalah putra dewa yang lahir sebelum Semar, tapi karena tidak mampu mengayomi bumi maka Togog kembali ke asal lagi alias tidak jadi lahir. Dan pada waktu bersamaan lahirlah Semar.

Riwayat
Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari keempat anaknya yang lahir dari sebutir telur. Lapisan-lapisan telur yakni Kulit paling luar diberi nama Batara Antaga (Togog), Kulit selaput diberi nama Batara Sarawita (Bilung) , Putih telur diberi nama Batara Ismaya (Semar) dan Kuning telur diberi namaBatara Manikmaya (Batara Guru). Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari keempat anaknya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan. Pada giliran pertama Batara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog memaksakan dirinya untuk menelannya padahal mulutnya tidak muat. Giliran kedua Batara Sarawita salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus sebelum dia menelannya membuat seluruh tubuhnya rusak dan bopeng-bopeng. Giliran berikutnya adalah Batara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, anak bungsu dari Sang Hyang Wenang.

Adapun Batara Antaga (Togog), Batara Sarawita (Bilung) dan Batara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog dan Bilung diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk.
Read more >>

Bagong

Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar. Dalam wayang banyumasan Bagong lebih dikenal dengan sebutan Bawor.

Ciri fisik
Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble. Dalam figur wayang kulit, Bagong membawa senjata kudi.

Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.

Asal-usul
Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.

Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.

Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi Manumanasa yang kelak menjadi leluhur para Pandawa. Ketika Manumanasa hendak mencapai moksha, Semar merasa kesepian dan meminta diberi teman. Manumanasa menjawab bahwa temannya yang paling setia adalah bayangannya sendiri. Seketika itu pula, bayangan Semar pun berubah menjadi manusia, dan diberi nama Bagong.

Bagong pada zaman Kolonial
Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram. Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.

Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Panjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.

Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.

Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta di Yogyakarta.

Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.

Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang punakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.

Bagong versi Jawa Timur
Dalam pewayangan gaya Jawa Timuran, yang berkembang di daerah Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya, tokoh Semar hanya memiliki dua orang anak , yaitu Bagong dan Sarangaja. Bagong sendiri memiliki anak bernama Besut.Dalam versi ini adik Bagong memang jarang di pentaskan namun ada lakon tertentu dimana Sarangaja keluar seperti lakon Adeg'e Khayangan Suralaya dimana pada cerita ini menceritakan Asal usul Bagong dalam versi Jawa Timur.

Tentu saja Bagong gaya Jawa Timuran memiliki peran yang sangat penting sebagai panakawan utama dalam setiap pementasan wayang. Ucapannya yang penuh humor khas timur membuatnya sebagai tokoh wayang yang paling ditunggu kemunculannya.

Dalam versi ini, Bagong memiliki nama sebutan lain, yaitu Jamblahita.

Bagong versi Wayang Golek Menak
Dalam pementasan Wayang Golek Menak, Bagong versi ini memang bentuk wajahnya menyerupai Cepot. Mulai dari wajah, tangan dan busananya persis seperti Cepot, tetapi Bagong versi Wayang Golek Menak ini memiliki wajah berwarna hitam, berjubah hitam, memakai kaos belang merah putih, dan berhidung mbangir. Bagong yang seperti ini disebut Lupit atau nama lengkapnya Kyai Lurah Lupit dari Desa Karang Sembung. Dia memiliki seorang adik yang bernama Slenteng, Slenteng sendiri adalah perwujudan Gareng versi Wayang Golek Menak. Dalam pakeliran, Lupit adalah seorang punakawan yang hidup pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di pulau Jawa, Misalnya sebagai abdi dalem Sultan Trenggono pada zaman Kesultanan Demak
Read more >>

Petruk

Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.

Kisah

Masa lalu
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.

Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.

Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.

Istri dan keturunan
Petruk mempuyai istri bernama Dewi Ambarwati, putri Prabu Ambarsraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.

Petruk dalam lakon pewayangan
Oleh karena Petruk merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan, contohnya lakon Pétruk Ilang Pethèlé ("Petruk kehilangan kapaknya").

Dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatutkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi Ratu ("Petruk Menjadi Raja"). Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.

Hubungan dengan punakawan lainnya
Petruk dan panakawan yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Mengenai Punakawan, punakawan berarti ”kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau punakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.

Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya punakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prapat”.

Komik dan Film
Pada tahun 1960an, di Indonesia pernah diterbitkan dagelan versi komik dari tokoh punakawan ini. Komik tersebut berjudul Petruk dan Gareng. Sebenarnya bukan hanya satu komikus yang pernah membuat komik ini, namun Indri Soedono adalah komikus yang disebut mengawalinya. Indri Soedono adalah komikus yang paling produktif membuat komik Petruk dan Gareng ini pada tahun 1960an hingga tahun 1970an, karya-karyanya banyak diterbitkan oleh CV Loka Tjipta Semarang. Komikus lain yang mengikutinya adalah Oerip, Rini AS, Leo, Sopoiki, Tjepi, Ricky NS, dan Tatang S.

Di antarapara komikus yang pernah menggarap Petruk dan Gareng, Tatang S adalah salah satu komikus yang paling tenar sebagai membuat komik Petruk dan Gareng karena dia yang masih tetap bertahan membuat komik ini meski pada tahun 1980an dunia perkomikan di Indonesia mulai meredup. Dia membuat komik Petruk dan Gareng dengan format sederhana dan mendistribusikan langsung ke sekolah-sekolah dasar melalui penjual mainan anak-anak. Komik dengan format sederhana tersebut kebanyakan diterbitkan Gultom Agency.

Komik Petruk dan Gareng yang pernah digarap oleh para komikus Indonesia ini berbeda dengan kisah pewayangan aslinya, setting dari komik ini lebih modern. Mulai masyarakat perkotaan hingga masyarakat pedesaan, lengkap dengan atribut-atribut masa kini yaitu sepeda motor dan mobil.

Kemudian pada tahun 2011, pertama kali dagelan Petruk dan Gareng versi komik ini dibuat filmnya. Film tersebut berjudul Gareng dan Petruk dalam kisah Super - Horror the Movie. Film berdurasi 27 menit ini diputar pertama kali di Bioskop 21 Dieng Plasa Kota Malang. Film komedi ini dibuat oleh Padepokan Film Malang, salah satu komunitas film di Kota Malang bekerjasama dengan Radio MFM dan Indosat.
Read more >>

Gareng

Gareng adalah salah satu dari empat punakawan yang sering muncul dalam pertunjukan wayang.

Riwayat
Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.

Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.

Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.

Dulunya, Gareng berwujud satria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satria lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para satria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua satria yang baru saja berkelahi itu.

Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Kadempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.

Komik dan Film
Pada tahun 1960an, di Indonesia pernah diterbitkan dagelan versi komik dari tokoh punakawan ini. Komik tersebut berjudul Petruk dan Gareng. Sebenarnya bukan hanya satu komikus yang pernah membuat komik ini, namun Indri Soedono adalah komikus yang disebut mengawalinya. Indri Soedono adalah komikus yang paling produktif membuat komik Petruk dan Gareng ini pada tahun 1960an hingga tahun 1970an, karya-karyanya banyak diterbitkan oleh CV Loka Tjipta Semarang. Komikus lain yang mengikutinya adalah Oerip, Rini AS, Leo, Sopoiki, Tjepi, Ricky NS, dan Tatang Suhenra.

Di antarapara komikus yang pernah menggarap Petruk dan Gareng, Tatang S adalah salah satu komikus yang paling tenar sebagai membuat komik Petruk dan Gareng karena dia yang masih tetap bertahan membuat komik ini meski pada tahun 1980an dunia perkomikan di Indonesia mulai meredup. Dia membuat komik Petruk dan Gareng dengan format sederhana dan mendistribusikan langsung ke sekolah-sekolah dasar melalui penjual mainan anak-anak. Komik dengan format sederhana tersebut kebanyakan diterbitkan Gultom Agency.

Komik Petruk dan Gareng yang pernah digarap oleh para komikus Indonesia ini berbeda dengan kisah pewayangan aslinya, setting dari komik ini lebih modern. Mulai masyarakat perkotaan hingga masyarakat pedesaan, lengkap dengan atribut-atribut masa kini yaitu sepeda motor dan mobil.

Kemudian pada tahun 2011, pertama kali dagelan Petruk dan Gareng versi komik ini dibuat filmnya. Film tersebut berjudul Gareng dan Petruk dalam kisah Super - Horror the Movie. Film berdurasi 27 menit ini diputar pertama kali di Bioskop 21 Dieng Plasa Kota Malang. Film komedi ini dibuat oleh Padepokan Film Malang, salah satu komunitas film di Kota Malang bekerjasama dengan Radio MFM dan Indosat.
Read more >>

Semar

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala[butuh rujukan]. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439[butuh rujukan].

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-Usul dan Kelahiran
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:

  • Batara Wungkuham
  • Batara Surya
  • Batara Candra
  • Batara Tamburu
  • Batara Siwah
  • Batara Kuwera
  • Batara Yamadipati
  • Batara Kamajaya
  • Batara Mahyanti
  • Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.

Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Read more >>

Drupada

Drupada (Sanskerta: द्रुपद; Drupada), atau sering pula disebut Yadnyasena (Sanskerta: यज्ञसेन; Yajñasena), adalah nama raja Kerajaan Pancala dalam wiracarita Mahabharata. Semasa muda ia bersahabat dengan Drona, guru para Pandawa dan Korawa. Namun persahabatan mereka kemudian berubah menjadi permusuhan di mana Drupada akhirnya tewas di tangan Drona dalam perang besar di Kurukshetra atau Baratayuda.

Masa muda
Drupada adalah putra dari Prisata, raja Kerajaan Pancala. Sewaktu muda ia belajar bersama dengan Drona, seorang brahmana miskin putra Baradwaja. Keduanya pun menjalin persahabatan akrab. Bahkan Drupada berjanji jika kelak ia menjadi raja menggantikan ayahnya, Drona akan diberinya sebagian dari wilayah Pancala.

Drupada akhirnya benar-benar menjadi raja Pancala sepeninggal ayahnya. Sementara itu, Drona menikah dengan Krepi adik perempuan Krepa, seorang brahmana di Kerajaan Kuru atau Hastinapura.

Ayah Srikandi
Pada suatu hari datang seorang putri bernama Amba menemui Drupada meminta bantuan untuk membunuh pria yang telah mengecewakannya, bernama Bisma dari Hastinapura. Drupada menolak karena takut akan kesaktian Bisma. Amba pun pergi dengan kecewa dan meninggalkan untaian bunga di pintu gerbang Kerajaan Pancala. Untaian bunga tersebut adalah pemberian dewata dan barangsiapa sanggup memakainya maka ia akan menjadi penyebab kematian Bisma.

Drupada melarang semua warganya agar tidak menyentuh untaian bunga peninggalan Amba. Sampai beberapa tahun kemudian, putri sulung Drupada yang bernama Srikandi berani mangambil dan memakainya sebagai kalung. Adapun Srikandi tidak lain adalah reinkarnasi dari Amba sendiri.

Srikandi tertarik mempelajari ilmu perang. Atas kehendak dewata, ia pun mengalami pergantian kelamin menjadi laki-laki. Meskipun demikian, ia tidak bisa menjadi pria seutuhnya sehingga lebih cenderung seperti seorang waria.

Awal Permusuhan dengan Drona
Drona yang telah menikah dengan Krepi dikaruniai seorang putra bernama Aswatama. Demi untuk mencukupi makanan istri dan anaknya yang masih kecil, Drona datang ke Pancala meminta Drupada menepati janji persahatannya dulu. Namun, Drupada justru menghina Drona dengan mengatakan kalau persahabatan hanya berlaku di antara orang-orang yang sederajat.

Drona kecewa dan menetap di Hastinapura. Di sana ia menjadi guru para pangeran Korawa dan Pandawa. Beberapa tahun kemudian, Drona mengirim para Korawa untuk menangkap Drupada. Meskipun Korawa membawa banyak pasukan Hastinapura, namun Drupada dengan dibantu panglimanya yang bernama Satyajit berhasil memukul mundur mereka semua.

Para Pandawa ganti berangkat untuk menyerang Pancala. meskipun tanpa membawa pasukan, kelima putra Pandu tersebut berhasil menangkap Drupada dan menyerahkannya kepada Drona. dengan demikian, Drona telah berhasil merebut kekuasaan Pancala. Ia pun memberikan setengah dari wilayah kekuasaannya tersebut kepada Drupada.

Kelahiran Pembunuh Drona
Drupada merasa sangat terhina atas perlakuan Drona kepadanya. Ia juga iri mengetahui Drona memiliki banyak murid yang patuh dan setia, sedangkan dirinya hanya memiliki seorang anak yang bersifat waria.

Drupada kemudian bertapa di hutan di mana ia bertemu dua orang pendeta bernama Yodya dan Upayodya. Keduanya sanggup membantu Drupada mencapai cita-citanya.

Maka diadakanlah upacara putrakama yang dipimpin oleh kedua pendeta tersebut. Dari dalam api pengorbanan kemudian muncul seorang pemuda membawa senjata lengkap. Disusul berikutnya seorang putri cantik di belakangnya. Drupada mengakui keduanya sebagai anak. Yang laki-laki diberi nama Drestadyumna, sedangkan yang perempuan diberi nama Kresna, namun kemudian lebih terkenal dengan sebutan Dropadi, yang bermakna "anak Drupada".

Drestadyumna kemudian berguru kepada Drona, musuh ayahnya. Drona menyadari bahwa Drestadyumna dilahirkan ke dunia untuk membunuhnya. Namun ia tetap menerimanya sebagai murid dan mengajarinya segala jenis ilmu perang sebagaimana ia telah mengajari Korawa dan Pandawa sebelumnya.

Sayembara untuk Dropadi
Kecantikan Dropadi yang luar biasa membuat banyak orang ingin menikahinya. Drupada pun mengadakan sayembara memanah untuk memilih siapa yang paling tepat menjadi menantunya. Sayembara tersebut hampir saja dimenangkan oleh Karna, sahabat para Korawa. Namun Dropadi dengan tegas menolak menjadi istri anak seorang kusir kereta.

Karna yang sakit hati mengumumkan bahwa Dropadi akan menjadi perawan tua karena sayembaranya terlalu sulit dan tidak ada lagi yang mampu memenangkannya. Drupada merasa khawatir mendengar ucapan Karna. Ia pun membuka pendaftaran baru untuk mengikuti sayembara memanah yang berhadiahkan Dropadi. Pendaftaran ini tidak hanya sebatas untuk kaum ksatriya saja, melainkan siapa saja boleh mendaftar.

Akhirnya yang berhasil memenangkan sayembara memanah ialah Arjuna, salah satu dari Pandawa yang saat itu sedang menyamar menjadi pendeta muda. Dropadi pun diserahkan kepadanya. Namun karena kesalahpahaman, ia diperistri oleh kelima Pandawa sekaligus. Dengan kata lain, sejak saat itu Drupada menjadi mertua Pandawa lima.

Kematian di Kurukshetra
Beberapa tahun kemudian terjadi perang saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Dalam hal ini Drupada bertindak sebagai salah satu sekutu penting para Pandawa, sedangkan Drona berada di pihak Korawa.

Perang di Kurukshetra atau Baratayuda memakan waktu lebih dari sehari. Pada hari ke-15, Drona bertanding melawan Wirata raja Kerajaan Matsya. Dalam pertempuran tersebut Wirata tewas. Drupada kemudian maju menghadapi Drona. Pertempuran antara keduanya akhirnya dimenangkan oleh Drona. Drupada tewas di tangan bekas sahabatnya.

Drona sendiri akhirnya tewas pula pada hari yang sama setelah kepalanya dipenggal oleh Drestadyumna putra Drupada.

Versi Pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Drupada mewarisi Kerajaan Pancala bukan dari ayahnya melainkan dari mertuanya. Menurut versi ini, Drupada adalah sepupu Drona. Ayahnya bernama Resi Dwapara merupakan kakak dari Resi Baradwaja, ayah Drona. Drupada sendiri memiliki nama asli Sucitra.

Pada suatu hari Sucitra pergi meninggalkan negeri Atasangin untuk mengabdi kepada Pandu raja Kerajaan Hastina. Pandu menyukai tingkah laku Sucitra dan manganggapnya sebagai saudara. Sucitra kemudian didaftarkan sayembara di Pancala, yaitu mengalahkan Gandamana putra Gandabayu, raja negeri tersebut. Adapun hadiah sayembara ialah kakak perempuan Gandamana yang bernama Gandawati.

Sucitra yang sudah dibekali pusaka berwujud sumping (perhiasan telinga) milik Pandu akhirnya berhasil mengalahkan Gandamana yang terkenal sakti. Ia pun berhak menikahi Gandawati. Bahkan, setelah Gandabayu meninggal, Sucitra naik takhta sebagai raja Pancala karena Gandamana memilih mengabdi kepada Pandu sebagai patih.

Sucitra yang telah resmi menjadi raja Pancala memakai gelar Prabu Drupada. Dari perkawinannya dengan Gandawati lahir tiga orang anak yang urutannya berbeda dengan versi aslinya. Mereka adalah Drupadi, Srikandi, dan Drestadyumna.

Kematian Drupada versi pewayangan juga terjadi dalam perang Baratayuda, di mana ia tewas terkena panah pusaka Simbarmanyura milik Drona pemberian gurunya, yaitu Ramaparasu.
Read more >>

Durmagati

Dalam wiracarita Mahabharata, Durmagati adalah seorang tokoh Korawa yang barangkali merupakan yang paling kocak apabila sedang dimainkan/dibawakan sifatnya oleh dalang.

Durmagati mempunyai badan yang lebih pendek dan gemuk dari kebanyakan saudara-saudaranya. Dengan ciri khas lehernya yang sangat pendek dan kepala seperti tertekan ke bawah sehingga wajahnya menengadah ke atas.

Bicaranya bindheng (seperti orang pilek, tidak jelas) dan kata-katanya justru selalu menyudutkan Sengkuni yang selalu memengaruhi Kurawa untuk memusnahkan Pandawa. Jadi sebenarnya ia tahu bahwa pihak Kurawa bersalah karena hasutan-hasutan licik Sengkuni. Namun semua kata-katanya diucapkan dengan gayanya yang kocak sehingga tidak dianggap serius oleh Sengkuni.
Read more >>

Resi Abyasa

Byasa (Sanskerta: व्यास; Vyāsa) (dalam pewayangan disebut Resi Abiyasa) adalah figur penting dalam agama Hindu. Ia juga bergelar Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda). Ia juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana. Ia adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu Mahabharata. Sebagian riwayat hidupnya diceritakan dalam Mahabharata.

Kelahiran
Dalam kitab Mahabharata diketahui bahwa orang tua Byasa adalah Resi Parasara dan Satyawati (alias Durgandini atau Gandawati). Diceritakan bahwa pada suatu hari, Resi Parasara berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta diseberangkan dengan perahu. Satyawati menghampirinya lalu mengantarkannya ke seberang dengan perahu. Di tengah sungai, Resi Parasara terpikat oleh kecantikan Satyawati. Satyawati kemudian bercakap-cakap dengan Resi Parasara, sambil menceritakan bahwa ia terkena penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayah Satyawati berpesan, bahwa siapa saja lelaki yang dapat menyembuhkan penyakitnya boleh dijadikan suami. Mendengar hal itu, Resi Parasara berkata bahwa ia bersedia menyembuhkan penyakit Satyawati. Karena kesaktiannya sebagai seorang resi, Parasara menyembuhkan Satyawati dalam sekejap.

Setelah lamaran disetujui oleh orang tua Satyawati, Parasara dan Satyawati melangsungkan pernikahan. Kedua mempelai menikmati malam pertamanya di sebuah pulau di tengah sungai Yamuna, konon terletak di dekat kota Kalpi di distrik Jalaun di Uttar Pradesh, India. Di sana Resi Parasara menciptakan kabut gelap nan tebal agar pulau tersebut tidak dapat dilihat orang. Dari hasil hubungannya, lahirlah seorang anak yang sangat luar biasa. Ia diberi nama Krishna Dwaipayana, karena kulitnya hitam (krishna) dan lahir di tengah pulau (dwaipayana). Anak tersebut tumbuh menjadi dewasa dengan cepat dan mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang resi.

Weda Wyasa
Umat Hindu memandang Krishna Dwaipayana sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian (Caturweda), dan oleh karena itu ia juga memiliki nama Weda Wyasa yang artinya "Pembagi Weda". Kata Wyasa berarti "membelah", "memecah", "membedakan". Dalam proses pengkodifikasian Weda, Wyasa dibantu oleh empat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Samantu, dan Wesampayana.

Telah diperdebatkan apakah Wyasa adalah nama seseorang ataukah kelas para sarjana yang membagi Weda. Kitab Wisnupurana memiliki teori menarik mengenai Wyasa. Menurut pandangan Hindu, alam semesta adalah suatu siklus, ada dan tiada berulang kali. Setiap siklus dipimpin oleh beberapa Manu, satu untuk setiap Manwantara, yang memiliki empat zaman, disebut Caturyuga (empat Yuga). Dwaparayuga adalah Yuga yang ketiga. Kitab Purana (Buku 3, Chanto 3) berkata:

Dalam setiap zaman ketiga (Dwapara), Wisnu, dalam diri Wyasa, untuk menjaga kualitas umat manusia, membagi Weda, yang seharusnya satu, menjadi beberapa bagian. Mengamati terbatasnya ketekunan, energi, dan dengan wujud yang tak kekal, ia membuat Weda empat bagian, sesuai kapasitasnya; dan raga yang dipakainya, dalam menjalankan tugas untuk mengklasifikasi, dikenal dengan nama Wedawyasa.

Tokoh Mahabharata
Selain dikenal sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian, Byasa juga dikenal sebagai penulis (pencatat) sejarah dalam Mahabharata, namun ia juga merupakan tokoh penting dalam riwayat yang disusunnya itu. Ibunya (Satyawati) menikah dengan Santanu, Raja Hastinapura. Dari perkawinannya lahirlah Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada gugur dalam suatu pertempuran, sedangkan Wicitrawirya wafat karena sakit. Karena kedua pangeran itu wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati menanggil Byasa agar melangsungkan suatu yadnya (upacara suci) untuk memperoleh keturunan. Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika diminta menghadap Byasa sendirian untuk diupacarai.

Sesuai dengan aturan upacara, pertama Ambika menghadap Byasa. Karena ia takut melihat wajah Byasa yang sangat hebat, maka ia menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, Byasa berkata bahwa anak Ambika akan terlahir buta. Kemudian Ambalika menghadap Byasa. Sebelumnya Satyawati mengingatkan agar Ambalika tidak menutup mata supaya anaknya tidak terlahir buta seperti yang terjadi pada Ambika. Ketika Ambalika memandang wajah Byasa, ia menjadi takut namun tidak mau menutup mata sehingga wajahnya menjadi pucat. Byasa berkata bahwa anak Ambalika akan terlahir pucat. Anak Ambika yang buta bernama Dretarastra, sedangkan anak Ambalika yang pucat bernama Pandu. Karena kedua anak tersebut tidak sehat jasmani, maka Satyawati memohon agar Byasa melakukan upacara sekali lagi. Kali ini, Ambika dan Ambalika tidak mau menghadap Byasa, namun mereka menyuruh seorang dayang-dayang untuk mewakilinya. Dayang-dayang itu bersikap tenang selama upacara, maka anaknya terlahir sehat, dan diberi nama Widura.

Ketika Gandari kesal karena belum melahirkan, sementara Kunti sudah memberikan keturunan kepada Pandu, maka kandungannya dipukul. Kemudian, seonggok daging dilahirkan oleh Gandari. Atas pertolongan Byasa, daging tersebut dipotong menjadi seratus bagian. Lalu setiap bagian dimasukkan ke dalam sebuah kendi dan ditanam di dalam tanah. Setahun kemudian, kendi tersebut diambil kembali. Dari dalamnya munculah bayi yang kemudian diasuh sebagai para putera Dretarastra.

Byasa tinggal di sebuah hutan di wilayah Kurukshetra, dan sangat dekat dengan lokasi Bharatayuddha, sehingga ia tahu dengan detail bagaimana keadaan di medan perang Bharatayuddha, karena terjadi di depan matanya sendiri. Setelah pertempuran berakhir, Aswatama lari dan berlindung di asrama Byasa. Tak lama kemudian Arjuna beserta para Pandawa menyusulnya. Di tempat tersebut mereka berkelahi. Baik Arjuna maupun Aswatama mengeluarkan senjata sakti Brahmastra. Karena dicegah oleh Byasa, maka pertarungan mereka terhenti.

Penutur sejarah Mahabharata
Pada suatu ketika, timbul keinginan Resi Byasa untuk menyusun riwayat keluarga Bharata. Atas persetujuan Dewa Brahma, Hyang Ganapati (Ganesa) datang membantu Byasa. Ganapati meminta Wyasa agar ia menceritakan Mahabharata tanpa berhenti, sedangkan Ganapati yang akan mencatatnya. Setelah dua setengah tahun, Mahabharata berhasil disusun. Murid-murid Resi Byasa yang terkemuka seperti Pulaha, Jaimini, Sumantu, dan Wesampayana menuturkannya berulang-ulang dan menyebarkannya ke seluruh dunia.

Versi pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, tokoh Byasa disebut dengan nama "Abyasa", "Kresna Dipayana", "Sutiknaprawa", atau "Rancakaprawa". Kisah kehidupannya dikembangkan sedemikian rupa oleh para dalang sehingga cenderung berbeda dengan versi aslinya.

Kelahiran
Abyasa merupakan putra pasangan Parasara dan Durgandini. Dikisahkan Durgandini menderita bau amis pada badannya semenjak lahir. Ia diobati Parasara seorang pendeta muda, di atas perahu sampai sembuh. Keduanya saling jatuh hati dan melakukan sanggama, sehingga lahir Abyasa.

Abyasa tidak lahir sendiri. Parasara juga mencipta perahu, penyakit, dan alat-alat pengobatannya menjadi manusia berjumlah enam, yaitu Setatama, Rekathawati, Bimakinca, Kincaka, Rupakinca, dan Rajamala. Semuanya dipersaudarakan dengan Abyasa.

Perkawinan
Durgandini kemudian menjadi permaisuri Sentanu, raja Hastina. Ia melahirkan Citranggada dan Citrawirya. Masing-masing secara berturut-turut naik takhta menggantikan Sentanu. Namun, keduanya masih muda ketika meninggal. Citranggada meninggal saat belum menikah, sedangkan Citrawirya meninggal saat belum memiliki putra.

Durgandini kemudian memanggil Abyasa untuk menikahi kedua janda Citrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika. Saat itu ia baru saja bertapa sehingga keadaan tubuhnya sangat buruk dan mengerikan. Ambika ketakutan saat pertama kali bertemu sampai memejamkan mata. Abyasa meramalkan kalau Ambika kelak melahirkan putra buta. Sementara itu, Ambalika memalingkan muka karena takut. Abyasa meramalkan kelak Ambalika akan melahirkan bayi berleher cacad. Abyasa juga menikahi dayang Ambalika bernama Datri. Perempuan itu ketakutan dan mencoba lari. Ia pun diramal kelak akan melahirkan putra berkaki pincang.

Akhirnya, Ambika, Ambalika, dan Datri masing-masing melahirkan putra yang diberi nama Dretarastra, Pandu, dan Widura.

Sebagai raja dan pendeta[sunting | sunting sumber]
Pewaris sah takhta Hastina sesungguhnya adalah Bisma putra Sentanu dari istri pertama. Namun ia telah bersumpah tidak akan menjadi raja, sehingga sebagai pengganti Citrawirya, Abyasa pun naik takhta sampai kelak ketiga putranya dewasa. Setelah tiba saatnya, Abyasa pun turun takhta digantikan Pandu sebagai raja Hastina selanjutnya. Ia kembali menjadi pendeta di pertapaan Ratawu yang terletak di pegunungan Saptaarga. Abyasa merupakan pendeta agung yang sangat dihormati. Tidak hanya keluarga Hastina saja yeng menjadikannya tempat meminta nasihat, namunjuga dari negeri-negeri lainnya.

Akhir hayat
Versi pewayangan mengisahkan kematian Abyasa sesaat sesudah perang Baratayuda usai, yaitu ketika keturunannya yang bernama Parikesit cucu Arjuna dilahirkan. Konon, atas jasa-jasanya selama hidup di dunia, datang kereta emas dari kahyangan menjemput Abyasa. Ia pun naik ke surga bersama seluruh raganya.

Nama Dipayana kemudian diwarisi oleh Parikesit.
Read more >>

Subali

Bali (Sanskerta: वाली; Valī), atau yang di Indonesia lebih terkenal dengan sebutan Subali, adalah nama seorang raja Wanara dalam wiracarita Ramayana. Ia merupakan kakak dari Sugriwa, sekutu Sri Rama. Ketika terjadi perselisihan antara kedua Wanara bersaudara itu, Rama berada di pihak Sugriwa. Subali akhirnya tewas di tangan pangeran dari Ayodhya tersebut.

Subali juga dikenal dalam dunia pewayangan Jawa sebagai seorang pendeta Wanara berdarah putih yang tinggal di puncak Gunung Sunyapringga. Ia memiliki Aji Pancasunya (di daerah Sunda disebut Pancasona) yang membuatnya tidak bisa mati. Ilmu kesaktian tersebut diwariskannya kepada Rahwana, musuh besar Rama.

Asal-usul
Nama Subali berasal dari kata bala, yang dalam bahasa Sanskerta bermakna "rambut". Konon ia dilahirkan melalui rambut ibunya, sehingga diberi nama Bali atau Subali. Setelah dewasa, Subali menjadi raja bangsa Wanara di Kerajaan Kiskenda, sedangkan Sugriwa bertindak sebagai wakilnya.

Menurut versi Ramayana, Subali dan Sugriwa adalah sepasang Wanara kembar yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi berbeda ayah. Keduanya sama-sama putra dewa. Subali adalah putra Indra, sedangkan Sugriwa merupakan putra Surya.

Berbeda dengan versi aslinya, dalam pewayangan Jawa, Subali dan Sugriwa pada mulanya terlahir sebagai manusia normal. Keduanya masing-masing bernama Guwarsi dan Guwarsa. Mereka memiliki kakak perempuan bernama Anjani. Ketiganya merupakan anak Resi Gotama dan Dewi Indradi yang tinggal di Pertapaan Agrastina.

Pada suatu hari Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa berselisih memperebutkan cupu milik ibu mereka yang luar biasa indahnya. Hal itu diketahui oleh Gotama. Indradi pun dipanggil dan ditanya dari mana cupu tersebut berasal. Gotama sebenarnya mengetahui kalau cupu itu adalah benda kahyangan milik Batara Surya yang bernama Cupumanik Astagina. Indradi yang ketakutan diam tak mau menjawab. Gotama yang marah karena merasa dikhianati mengutuk istrinya itu menjadi tugu. Ia lalu melemparkan tugu tersebut sejauh-jauhnya, sampai jatuh di perbatasan Kerajaan Alengka.

Meskipun kehilangan ibu, ketiga anak Gotama tetap saja memperebutkan Cupu Astagina. Gotama pun membuang benda itu jauh-jauh. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Cupu Astagina jatuh di sebuah tanah kosong dan berubah menjadi telaga. Guwarsi dan Guwarsa begitu sampai di dekat telaga itu segera menceburkan diri karena mengira cupu yang mereka cari jatuh ke dalamnya. Seketika itu juga wujud keduanya berubah menjadi wanara atau kera. Sementara itu Anjani yang baru tiba merasa kepanasan. Ia pun mencuci muka menggunakan air telaga tersebut. Akibatnya, wajah dan lengannya berubah menjadi wajah dan lengan kera.

Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa menghadap Gotama dengan perasaan sedih. Ketiganya pun diperintahkan untuk bertapa menyucikan diri. Anjani bertapa di Telaga Madirda. Kelak ia bertemu Batara Guru dan memperoleh seorang putra bernama Hanoman. Sementara itu Guwarsi dan Guwarsa yang telah berganti nama menjadi Subali dan Sugriwa masing-masing bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Ketiga anak Gotama tersebut berangkat ke tempat tujuan masing-masing. Sesuai petunjuk ayah mereka, Anjani bertapa dengan gaya berendam telanjang seperti seekor katak, Subali menggantung di dahan pohon seperti seekor kelelawar, sedangkan Sugriwa mengangkat sebelah kakinya seperti seekor kijang.

Penggabungan silsilah
Subali dalam bentuk wayang gaya Surakarta.
Versi pewayangan Jawa yang bersumber dari naskah Serat Arjunasasrabahu, sebagaimana yang telah diceritakan di atas, rupanya telah menggabungkan silsilah beberapa tokoh dalam Ramayana.

Menurut versi Ramayana, antara Subali-Sugriwa dengan Anjani, Hanoman dan Gotama tidak memiliki hubungan keluarga. Anjani adalah istri Kesari, seorang raja Wanara. Ia mendapatkan titipan janin dari Bayu sang dewa angin, yang setelah lahir diberi nama Hanoman. Hanoman kemudian berguru kepada Surya, dewa matahari. Setelah tamat, ia ditugaskan menjadi pengawal putra gurunya yang bernama Sugriwa, saudara kembar Subali.

Sementara itu, Gotama versi Ramayana adalah seorang pertapa yang tidak memiliki sangkut paut dengan Subali. Menurut versi ini, Gotama memiliki istri bernama Ahalya, yang kecantikannya membuat Dewa Indra terpikat. Dengan bantuan Surya, Indra pun menyamar sebagai Gotama untuk bisa mendekati Ahalya. Hal itu akhirnya diketahui oleh Gotama. Indra dan Surya melarikan diri, sedangkan Ahalya dikutuk oleh suaminya tersebut menjadi batu.

Perkawinan
Subali memiliki seorang istri bernama Tara. Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra bernama Anggada, yang kelak banyak berjasa dalam membantu Sri Rama melawan Rahwana.

Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Tara bukanlah istri Subali, melainkan istri Sugriwa. Ketika kedua wanara bersaudara itu bertapa untuk mensucikan diri sesuai petunjuk ayah mereka, datang Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk meminta bantuan dalam menumpas musuh kahyangan, bernama Mahesasura raja Guakiskenda. Subali dan Sugriwa pun berangkat. Subali masuk ke dalam istana Kiskennda yang terletak di dalam gua. Ia berpesan jika kelak mengalir darah merah ke luar gua, berarti Mahesasura tewas. Namun jika yang mengalir darah putih berarti dirinya yang tewas. Apabila Subali terbunuh, Sugriwa diminta untuk segera menutup pintu gua dengan batu besar.

Subali pun masuk ke dalam gua di mana terdapat istana Kiskenda yang sangat indah. Di sana ia bertempur melawan Mahesasura yang dibantu kedua pengawalnya bernama Lembusura dan Jatasura. Ketiganya tewas dengan kepala pecah. Darah dan otak mereka mengalir keluar gua. Sugriwa di luar mengira yang mengalir adalah darah merah dan darah putih. Dengan sedih ia menutup pintu gua lalu melapor ke kahyangan. Karena Mahesasura telah mati, sebagai hadiah, Sugriwa pun memperoleh seorang bidadari bernama Tara putri Batara Indra.

Di tengah jalan Sugriwa dan Tara dihadang Subali yang ternyata masih hidup. Subali menuduh adiknya itu berkhianat. Sugriwa pun dihajarnya tanpa ampun. Narada turun melerai dan mengisahkan apa yang sebenarnya terjadi. Subali sadar dan minta maaf. Ia merelakan Tara menjadi istri Sugriwa serta menyerahkan takhta Kiskenda peninggalan Mahesasura kepada adiknya itu. Subali memilih menjadi pertapa di Gunung Sunyapringga. Atas jasanya membunuh Mahesasura, Batara Guru memberinya anugerah dalam bentuk lain, yaitu ilmu kesaktian yang bisa membuatnya tidak bisa mati, bernama Aji Pancasunya (di daerah Sunda disebut Aji Pancasona).

Hubungan dengan Rahwana
Versi Ramayana mengisahkan, Subali bersahabat dengan Rahwana raja bangsa Rakshasa dari Kerajaan Alengka. Pada mulanya mereka sempat berkelahi karena Rahwana datang untuk menaklukkan Kerajaan Kiskenda. Namun dalam pertarungan tersebut Rahwana kalah. Subali mengampuninya dan menjadikannya teman.

Versi pewayangan Jawa bahkan mengisahkan Rahwana kemudian berguru kepada Subali. Rahwana yang pandai bersandiwara berhasil meyakinkan Subali bahwa dirinya telah bertobat. Subali pun mengajarkan Aji Pancasunya kepadanya. Ia juga selalu menasihati Rahwana supaya menggunakan ilmu tersebut di jalan kebenaran.

Rahwana yang telah memperoleh ilmu baru berniat melanjutkan aksinya untuk menguasai dunia. Terlebih dahulu ia berusaha menyingkirkan Subali yang dianggapnya sebagai penghalang. Ia pun mengirim pembantunya yang bernama Marica untuk menyamar sebagai pelayan Tara. Pelayan palsu jelmaan Marica itu datang dan melapor kepada Subali bahwa Tara setiap hari disiksa Sugriwa. Konon Sugriwa juga mengungkit-ungkit nama Subali setiap kali menyiksa Tara. Subali marah mendengar laporan tersebut. Ia pun mendatangi Sugriwa di Kiskenda. Sugriwa dihajar tanpa ampun. Tubuhnya dilemparkan sampai jatuh dan terjepit di sepasang pohon asam kembar di puncak Gunung Reksyamuka. Subali kemudian menetap di Kerajaan Kiskenda serta menikahi Tara. Dari perkawinan itu kemudian lahir Anggada.

Perselisihan dengan Sugriwa
Kisah perselisihan Subali dan Sugriwa menurut versi pewayangan Jawa di atas agak berbeda dengan versi aslinya. Menurut versi Ramayana, sejak awal Subali sudah menjadi raja di Kerajaan Kiskenda. Kemudian datang seorang Rakshasa bernama Dundubi yang manantangnya adu kesaktian. Dalam pertarungan itu Dundubi berhasil dikalahkan. Ia melarikan diri sampai ke Gunung Reksyamuka tempat pertapaan Resi Matangga. Di pertapaan itu Subali membunuh Dundubi. Resi Matangga marah karena pertapaannya dikotori. Ia pun mengutuk Subali akan mati jika berani menginjakkan kaki di Gunung Reksyamuka.

Subali kemudian bertemu saudara Dundubi yang bernama Mayawi. Keduanya pun bertarung. Mayawi kalah dan melarikan diri ke dalam gua. Subali terus mengejarnya. Sugriwa ikut mengejar namun menunggu di luar gua. Ia mendengar suara raungan kakaknya dan melihat darah mengalir keluar gua. Sugriwa sedih dan mengira Subali telah tewas. Sugriwa kembali ke Kiskenda dan didesak rakyatnya untuk menjadi raja baru menggantikan Subali. Tiba-tiba Subali muncul dengan penuh rasa marah. Ternyata yang tewas adalah Mayawi, bukan dirinya. Ia pun menghajar Sugriwa sedemikian rupa. Sugriwa yang ketakutan melarikan diri ke Gunung Reksyamuka, di mana Subali tidak berani mengejarnya.

Kematian
Sugriwa bersembunyi di Gunung Reksyamuka ditemani Hanoman yang setia kepadanya. Hanoman berhasil mempertemukan Sugriwa dengan Sri Rama, seorang pangeran dari Ayodhya yang kehilangan istri karena diculik oleh Rahwana. Keduanya pun mengadakan kesepakatan. Rama akan membantu Sugriwa memperoleh kembali takhta Kiskenda, sedangkan Sugriwa berjanji akan membantu Rama menyerang negeri Rahwana.

Sesuai rencana, Sugriwa pun datang ke istana Kiskenda untuk menantang Subali bertanding. Subali yang marah hendak menghadapi Sugriwa, namun dicegah oleh Tara, istrinya. Tara mencurigai Sugriwa yang dulu pernah kalah tapi kini tiba-tiba berani datang untuk menantang bertarung. Namun Subali tidak menghiraukan nasihat istrinya itu. Ia memilih keluar untuk melayani tantangan adiknya. Antara Subali dan Sugriwa pun segera terjadi pertarungan sengit. Dari kejauhan, Rama yang ditemani adiknya, Laksmana, serta Hanoman, membidikkan panah ke arah Subali. Namun ia merasa bingung membedakan kedua Wanara kembar tersebut. Sugriwa yang kewalahan memilih melarikan diri. Rama datang menemui Sugriwa yang marah-marah karena merasa dikhianati. Rama mengaku bingung dan takut salah menyerang. Sugriwa pun dimintanya menantang Subali sekali lagi dengan mengenakan kalung untaian bunga sebagai penanda (dalam pewayangan Sugriwa diminta memakai kalung janur kuning).

Sugriwa kembali bertarung melawan Subali. Saat Sugriwa terdesak untuk yang kedua kalinya, Rama muncul dan melepaskan panahnya ke dada Subali. Subali pun roboh tak sempat menghindar. Subali yang sekarat dalam keadaan marah menghina Rama sebagai kesatria pengecut yang tidak tahu dharma. Mendengar penghinaan itu, Rama menjelaskan bahwa Subali sebenarnya telah berdosa, karena apabila masih suci, panah sakti milik Rama tidak akan mampu menembus kulitnya, bahkan senjata tersebut akan berbalik menyerang Rama. Setelah mendengar penjelasan yang panjang lebar dari Rama, Subali menyadari dosa-dosa dan kesalahannya kepada Sugriwa. Ia pun meminta maaf dan meminta agar Sugriwa merawat putranya yang bernama Anggada dengan baik. Subali juga merestui Sugriwa menjadi raja Kiskenda. Setelah itu, ia pun akhirnya meninggal dunia.

Menurut versi pewayangan, meskipun Subali memiliki Aji Pancasunya, namun saat itu ajalnya telah ditentukan oleh dewata. Oleh karena itu, ilmu tersebut sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana biasanya.

Reinkarnasi Subali
Menurut susastra Hindu, karena Rama telah membunuh Subali, maka Subali pun bereinkarnasi dan membunuh inkarnasi Wisnu pada kehidupan selanjutnya. Konon atma Subali terlahir kembali sebagai seorang pemburu bernama Jara pada zaman Dwapara Yuga. Tokoh Jara inilah yang kemudian membunuh awatara Wisnu pada zaman tersebut, yaitu Sri Kresna meskipun tanpa sengaja. Setelah Jara melepaskan panahnya dan melukai kaki Kresna, Kresna pun moksa dan kembali ke Waikuntha.
Read more >>
 

.: Live Traffic :.

.: Fans Box :.

.: Follower :.